Tuesday, March 30, 2010

Tak mudah untuk kita hadapi
Perbedaan yang berarti
Tak mudah untuk kita lewati
Rintangan silih berganti

Kau masih berdiri
Kita masih di sini
Tunjukkan pada dunia
Arti sahabat

Kau teman sehati
Kita teman sejati
Hadapilan dunia
Genggam tanganku

Tak mudah untuk kita sadari
Saling mendengarkan hati
Tak mudah untuk kita pahami
Berbagi rasa di hati

Kau adalah..
Tempatku membagi kisahku
Kau sempurna
Jadi bagian hidupku
Apapun kekuranganmu.....

Joke" luthu lumayan lah dr pd lu manyun hahaha =))

CEKidottt =))

Apa bedanya jam 12 siang ama’ jam 12 malem?
Kalo jam 12 siang bunyinya neng, neng, neng.
Kalo jam 12 malem bunyinya neeeng, neeeng. pintunya bukain neeeng.

Apa perbedaan rok dengan roket?
Roket makin ke atas makin nggak kelihatan
Rok makin ke atas makin kelihatan

Majalah apa yang paling mahal?
Bobo sama Gadis (kalo ga ngerti, jangan tanya ama tukang majalah!)

Apa bedanya sekretaris baik sama sekretaris seksi?
Sekretaris baik “selamat pagi pak”
Sekretaris seksi “sudah pagi pak”

Apa persamaannya bayi ama snack canasta?
Sama-sama dibikin pake ‘tongkat ajaib’

Apa persamaan antara ASI dan air mineral?
Sumbernya sama, dari pegunungan

Apa bedanya tentara dengan pembalut?
Kalo tentara disiplin, kalo pembalut diselipin

Apa perbedaan bulan madu pertama dan bulan madu kedua?
Kalau bulan madu pertama istrinya yang teriak “Haaaa. besar banget!”
Kalau bulan madu kedua suaminya yang teriak “Haaa. besar banget!”

Apa bedanya burung cendrawasih dengan perempuan?
Burung cendrawasih adalah burung surga, sedangkan perempuan adalah surga burung

Burung apa yang nempel di tembok?
Burungnya cicak

Kentutnya ADE RAY bunyinya gimana?
Brotot. brotot. brottot

Sandal apa yang paling enak?
Sandal terasi

Apa perbedaan aksi dengan demo?
Kalo aksi rodanya empat kalo demo rodanya tiga

Begoan mana, Batman apa Superman?
Begooan Batman, udah tau gak bisa terbang masih pake sayap

Apa persamaan Pangeran Dipenogoro dengan Cut Nyak Dien?
Sama-sama nggak punya handphone

Mengapa sepeda motor mereknya “yamaha”?
Sebab bikinan Jepang. Kalau bikinan Arab mereknya “yamahmud”

Hewan apa yang nyampe pertama kali di bulan?
Burung.nya Neil Amstrong

Apa bedanya jatuh dari lantai 1 dengan jatuh dari lantai 13?
Kalau dari lantai 1, bunyinya “bruuk. aaa.”
Kalau dari lantai 13 bunyinya “aaa. bruukkk.”

Pintu apa yang didorong-dorong sama 10 orang nggak bakal terbuka?
Pintu yang ada tulisannya “TARIK”

Lubang apa yang paling kecil di dunia?
Lubang pantat. Angin aja kalo mau lewat mesti menjerit

Apa Bahasa Rusianya Kesenggol Mobil?
Keseremvet Chevrolet

Apa Bahasa inggrisnya
Keset kaki?
Wellcome
Cewek panggilan?
Miss Call
Penjual Ikan?
Selfish
Semua ke Kanan?
Allright
Nona paling pengertian?
Missunderstanding
Sudah Lama buta?
Long Time No see
Pom Bensin?
No Smoking
Cewek Bersenjata Emas?
Merry ChristMas


Einstein vs Mr.Bean! Genius Mana!?

Suatu ketika Einstein dan Mr.Bean sedang menunggu pesawat yang tidak kunjung tiba di ruang tunggu bandara.
Karena saking bosannya si Einstein nyeletuk ke Mr.Bean.
Einstein : Bean, kita taruhan tebak-tebakan yuk! Taruhannya gampang banget, kalau kamu ga bisa jawab pertanyaanku, kamu harus bayar saya 50.000 rupiah.
Sebaliknya kalau saya tidak bisa menjawab pertanyaanmu saya kasih kamu 500.000 rupiah. Menarik khan!?
Mr.Bean : Wokeh gan!
Einstein : Saya mulai lebih dulu, berapa jarak bumi ke matahari dipangkat 3?
Mr.Bean tanpa banyak ngomong langsung mengeluarkan uang 50.000 rupiah dari dompetnya dan memberikannya kepada Einstein.
Einstein menerima uang tersebut dengan tertawa terbahak-bahak.
Kemudian si Mr.Bean berkata : Giliran saya ya, Apa yang kalau mendaki pakai 2 kaki, kalau turun pakai 3 kaki?
Einstein langsung berpikir dan terus berpikir.
Setelah 30 menit tidak menemukan jawaban, dia langsung mengeluarkan laptopnya dan browsing dengan teman-teman geniusnya
sembari mencari jawabannya di bantuan "search engine".
Selama 1 jam tidak menemukan jawaban, akhirnya si Einstein menyerah.
Einstein : Bean, Saya menyerah dah! Capek bener cariin jawabannya. Neh 500.000 rupiah sesuai dengan kesepakatan tadi deh.
Mr.Bean menerima uang tersebut dan berkata : Terimakasih.
Einstein : Ngomong-ngomong, jawabannya apa sih?
Mr.Bean mengeluarkan dompetnya lagi dan memberikan 50.000 rupiah ke Einstein.


Kisah Kura-kura, Kodok, dan Uler kaki seribu.
Ada tiga sahabat, satunya kura-kura.. satu lagi kodok.. terus satunya lagi uler kaki seribu. Suatu hari kura-kura mengundang dua temannya kerumahnya buat pesta kecil-kecilan. Akhirnya mereka bertiga bikin pesta kecil di rumah kura-kura.
Setelah asyik ngobrol, makan, minum dan lain-lain… si kodok berkata “Eh.. dari tadi kayaknya ada yang kurang ya.. elu pada ngerasa gak.. Oh iya kita kok gak ngerokok ya.. pantesan mulut asem banget nih..”
Kura-kura : “iya ya..sorry gue lupa nggak nyediain rokok… kalo gitu lu beli aja deh ‘Dok.. warungnya deket kan..!”
Kodok : “Lho kok gue sih.. kan tuan rumahnya elu ‘Ra..”
Kura-kura : “iya sih.. tapi kan gue jalannya lambat. kalo elu kan bisa cepet..!!”
Kodok : “Ah.. nggak bisa gitu donk!!.. lagian kalo soal cepet.. pasti si uler kaki seribu lebih cepet dari gue.. kakinya aja ada seribu!!!”
Kura-kura : “Oh iya ya.. Elu aja deh yang pergi.. uler Kaki seribu..”
Kaki seribu : “Kok jadi gue sih..”
Kodok : “Udah ..nggak apa-apa.. elu aja.. buruan..”
Akhirnya si Uler kaki seribu pergi juga untuk membeli rokok.
Si Kodok dan Kura-kura nungguin sambil ngegosipin artis-artis lokal. Lima menit menunggu…si Uler kaki seribu belum datang juga… 10 menit.. 20 menit…satu jam… dan ternyata sampai tiga jam Uler kaki seribu gak nongol-nongol juga.
Kodok : “Kok Uler kaki seribu nggak pulang-pulang ya..?”
Kura-kura : “Iya nih..gue jadi kuatir..kita susulin aja yuk, Dok…!”
Kodok : “Ayuk deh..!”
Tapi waktu si kura-kura buka pintu… ternyata uler kaki seribu sudah ada di depan pintu.
Kura-kura : “Nah ni dia..!”
Kodok : “Iya nih dari tadi ditungguin juga… mana rokoknya. mulut gue udah asem banget nih..?!”
Uler kaki seribu : “Boro-boro rokok… jalan aja belom..!!”
Kodok : “Haah belum jalan… emangnya dari tadi ngapain aja…?”
Uler kaki seribu : “Yeeeeeeeee. . elu nggak liat nih… gue lagi PAKE SEPATU!!!?”


 Majalah dinding
suatu hari Budi dan teman2nya disuruh kepala sekolah untuk membuat majalah dinding yang akan di pajang di depan sekolah.lalu Budi membuat"50% Siswa SMA 10 malas ke sekolah".setelah beberapa hari Budi dipanggil kepala sekolah dan disuruh mengubah majalah dinding tersebut.budipun menulis"50% siswa SMA 10 Rajin ke sekolah"

Wednesday, March 17, 2010

PAHAM KEBANGSAAN dan Negara Integralistik

KENAPA PAHAM KEBANGSAAN?

Pertanyaannya, kenapa mesti paham kebangsaan atau nasionalisme. Mengapa bukan paham keagamaan atau kedaerahan?

Soalnya adalah hanya paham kebangsaan yang dapat mengatasi keterikatan kita, masing-masing anak bangsa, kepada ikatan primordialnya. Hanya dalam posisi kita sebagai sesama bangsa Indonesia –dalam perasaan kita senasib sepenanggungan sebagai bangsa Indonesia— yang bisa mengatasi loyalitas-loyalitas sempit berdasar ideologi partisan, agama, adat, suku, ras, daerah, dan seterusnya.

Seperti pernah diuraikan Soekarno, sebelum era Republik Indonesia, bangsa Indonesia hanya dua kali merasakan sebagai negara nasional atau negara-bangsa. Yaitu pada masa Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya. Di luar itu, entitas bangsa yang menjelma menjadi negara atau kesatuan politik masih bersifat lokal atau parsial. Misalnya Kerajaan Gowa yang hanya meliputi suku Bugis di Sulawesi, Kerajaan Mataram yang hanya mencakup sebagian suku Jawa, Kerajaan Ternate yang hanya terdiri dari sebagian suku bangsa di Maluku, dan sebagainya. Dari kesatuan politik yang hanya lokal ini terbukti dalam sejarah: gagal mengantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya dari penjajahan Belanda. Baru tatkala perjuangan kita bersifat nasional, meliputi seluruh warga bangsa dari Sabang sampai Merauke, maka perjuangan itu berhasil mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Dengan paham kebangsaan sebagai salah satu asas negara, maka orang Islam, orang Kristen, orang Jawa, orang Batak, orang keturunan Tionghoa, semuanya memiliki perasaan atau kehendak yang sama sebagai satu bangsa Indonesia. Rasa kebangsaan dengan demikian mampu menjadi wahana titik temu (common denominator) keberagaman latar belakang warga negara Indonesia. Dengan kebangsaan, maka kemajemukan bukan menjadi kutukan yang menyeret kita ke dalam perpecahan, tapi justru menjadi faktor yang memperkaya kesatuan atau rasa memiliki (sense of belonging) kita sebagai warga negara Indonesia. Dengan kata lain: kemajemukan justru menjadi anugerah.

Dengan paham kebangsaanlah kita bisa merasakan semangat “semua buat semua”. Dengan paham kebangsaan, kita menjadi memiliki kesetaraan di depan hukum dan pemerintahan (equality before the law) tanpa harus mengalami diskriminasi lantaran perbedaan latar belakang primordial atau ikatan sempit seperti suku, agama, ras, atau kedaerahan.

Di sini kebangsaan bukan sesuatu yang menegasikan keberagaman kita sebagai bangsa, namun justru mengayomi keserbamajemukan itu ke dalam wadah yang satu: yakni bangsa Indonesia.

Secara historis, paham kebangsaan telah terbukti mampu mentransformasikan kesadaran kita dari yang awalnya bersifat sempit berdasar kesukuan atau keagamaan, menjadi kesadaran nasional, kesadaran akan keindonesiaan. Sebelum spirit kebangsaan Indonesia muncul, yang lebih dulu mengemuka adalah spirit berdasar suku, agama, atau kedaerahan. Misalnya dalam bentuk Jong Java, Jong Ambon, Jong Islam, Jong Sumatera, dan sebagainya. Baru kemudian, seiring meluasnya pengaruh Budi Utomo pada 1908, Sarekat Islam (SI) pada 1911, dan Pergerakan Indonesia (Indonesische Vereniging) pada 1921, maka embrio spirit kebangsaan yang bersifat nasional muncul ke permukaan. (Patut diingat: meski BU lebih ke Jawa dan SI merupakan gerakan Islam, tapi amat berperan dalam persemaian ide kebangsaan Indonesia). Ini kemudian melahirkan Sumpah Pemuda pada 1928 yang secara eksplisit mengemukakan semangat kebangsaan Indonesia. Dari sini akhirnya bermuara pada lahirnya negara kebangsaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.


PLURALISME:
REVITALISASI PAHAM KEBANGSAAN

Hanya saja, karena kemerdekaan telah tercapai, dan kebangsaan Indonesia telah menjadi kenyataan, belakangan ini seolah-olah terasa kuno apabila kita membicarakan relevansi nasionalisme atau paham kebangsaan tersebut. Orang pun lantas lebih suka memakai terminologi pluralisme atau cara pandang yang menghormati keanekaragaman atau pluralitas kita sebagai bangsa.*

Padahal pluralisme itu secara substansi tak ada bedanya dengan cara pandang kebangsaan atau nasionalisme. Hanya masalah aksentuasinya saja yang agak berbeda. Nasionalisme secara langsung dikaitkan dengan eksistensi kita sebagai bangsa Indonesia, sedangkan pluralisme lebih sering dikaitkan dengan masalah hak asasi manusia atau sila ketuhanan dan kemanusiaan dalam Pancasila. Akan tetapi keduanya sebenarnya sama-sama mengapresiasi keragaman sebagai sebuah keniscayaan.

Yang penting digarisbawahi adalah baik paham kebangsaan maupun pluralisme mestinya disebarkan ke dalam benak masyarakat sebagai sebuah kesadaran atau pengetahuan, bukan dengan paksaan. Sebab ketika kebangsaan atau pluralisme diaplikasikan dengan paksaan (koersif) atau malah kekerasan (violence), maka ia menjadi proyek yang bersifat otoritarian dan tidak demokratis. Kebangsaan bila dipaksakan secara top-down hasilnya adalah penyeragaman ala proyek asas tunggal yang meminggirkan keragaman warga bangsa atau penciptaaan hantu SARA oleh Orde Baru yang menakut-nakuti rakyat akan perbedaan.

Sementara jika pluralisme dipaksakan terhadap entitas-entitas primordial yang homogen, maka justru akan meniadakan kekhasan masing-masing kelompok yang mestinya memang beragam atau berbeda antara satu dengan yang lain. Kelompok-kelompok yang secara internal relatif homogen seperti Gereja Katolik, Muhammadiyah, atau perkumpulan warga keturunan etnis Tionghoa, misalnya, tidak perlu ditekan untuk mempluralkan dirinya sendiri. Yang penting ialah adanya kesadaran mereka untuk menghormati pluralitas yang merupakan fakta tak terbantahkan dari kondisi alamiah bangsa Indonesia.

Maka, pluralisme atau nasionalisme yang dikembangkan –untuk tetap menjaga tegaknya negara kebangsaan Indonesia secara sehat dan alamiah—, mestinya ialah pluralisme dan nasionalisme yang bersifat partisipatif atau demokratis. Dengan kata lain, harus menghormati semua entitas yang homogen atau berbeda tetap dalam homogenitas atau perbedaannya, namun seiring dengan itu kita mendorong entitas-entitas ini menjadi apresiatif terhadap kekhasan entitas lainnya sekaligus apresiatif terhadap kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa.

Artinya, kita melakukan desiminasi bahwa Indonesia sebagai lebensraum (ruang hidup bersama) di satu sisi menenggang keragaman berbagai unsur pembentuk bangsa untuk tetap memelihara kekhasannya masing-masing, namun di sisi lain juga menuntut penghormatan atas spirit kesatuan atau kebersamaan sebagai satu bangsa yang sama. Dengan demikian, maka nasionalisme –atau bahasa masa kininya pluralisme— akan mampu menyediakan dirinya menjadi payung yang mengayomi keragaman kita sebagai bangsa, sekaligus menjamin kesatuan kita sebagai negara bangsa atau satu kekuatan nasional. Dengan kata lain, menjamin tegaknya Indonesia sebagai suatu rumah kebangsaan bagi beragam entitas bangsa yang berbeda-beda tapi memiliki spirit keindonesiaan yang sama. Semoga! []

POLEMIK SEPUTAR KONSEP NEGARA INTEGRALISTIK SOEPOMO
I. Pengantar
Di akhir kekuasaan rezim Orde Baru, pernah muncul polemik dan perdebatan di kalangan akademisi seputar konsep atau pandangan negara Integralistik. Polemik itu berupa implikasi dari konsep negara integralistik Soepomo terhadap sistem demokrasi di masa Orde Baru. Kerangka berpikir yang berkembang secara dominan berpendapat bahwa penafsiran tentang konsep negara integralistik tanpa disadari telah melahirkan rezim otoritarian yang dibungkus secara apik oleh Orde Baru dalam Demokrasi Pancasilanya.
Perdebatan itu memunculkan aneka versi pandangan terhadap sosok dan pemikiran filosofis Soepomo ini. Ada yang menilainya secara negatif dengan mengatakan bahwa konsep negara integralistik itu merupakan benih subur bagi berkembangnya kekuasaan yang otoriter dari para penguasa selama kurun waktu yang panjang itu. Akan tetapi, ada juga yang membela Soepomo. Mereka menyatakan bahwa konsep negara integralistik itu sesuai dengan jati diri Indonesia tanpa memaksudkan akan lahirnya sistem kekuasaan yang otoriter.
Paper ini dimaksudkan untuk turut menganalisa secara kritis-filosofis isi pidato Soepomo itu. Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis adalah pemahaman yang holistik dan logis menyangkut peran Soepomo dalam perumusan dasar negara Indonesia Merdeka dan implikasinya bagi penafsiran dan perkembangan demokrasi Indonesia dewasa ini.

II. Konsep Negara Integralistik Soepomo
Pemikiran Soepomo tentang konsep negara integralistik atau paham negara kekeluargaan menurut banyak pihak sangat berpengaruh dalam perumusan UUD 1945. Tanggal 31 Mei 1945, di Gedung Chuo Sangi In di jalan Pejambon 6 Jakarta, Soepomo berpidato di hadapan sidang umum BPUPKI. Soepomo dalam pidato yang cukup panjang itu menguraikan tiga teori yang bisa dipilih sebagai dasar dan prinsip negara yang akan dibentuk.
Pertama, ia menyebut teori perseorangan atau teori individualistik. Teori ini diajarkan oleh Thomas Hobbes, John Locke, Rousseau, Herbert Spencer dan Laski. Menurut teori ini, negara adalah masyarakat hukum yang disusun atas kontrak antara seluruh individu dalam masyarakat demi menjamin hak-hak individu di dalam masyarakat. Kedua, Soepomo “menawarkan” teori pertentangan kelas atau teori golongan sebagaimana diajarkan oleh Karl Marx, Engels dan Lenin. Dalam teori ini, negara merupakan alat dari suatu golongan yang kuat untuk menindas golongan yang lemah. Ketiga, Soepomo mengajukan teori yang ia sebut sebagai teori atau konsep negara integralistik yang didasarkan pada ide Spinoza, Adam Muller dan Hegel.[1] Apa itu negera integralistik? Menurut Soepomo, integralistik berarti negara tidak untuk menjamin kepentingan individu. Bukan pula untuk kepentingan golongan tertentu, tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhya sebagai satu kesatuan yang integral.
Dalam konsep negara integralistik, negara adalah kesatuan masyarakat yang organis dan tersusun secara integral. Di dalamnya, segala golongan, segala bagian, semua individu berhubungan erat satu sama lain. Pemikiran ini didasarkan pada prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara seluruhnya. Bagi Soepomo, konsep negara seperti ini cocok dengan alam pikiran ketimuran.[2] Lagi menurutnya, pemikiran ini juga didasarkan pada struktur sosial masyarakat Indonesia yang asli yang terdapat di desa-desa di Indonesia. Bagi Soepomo, hal itu tidak lain merupakan ciptaan kebudayaan Indonesia sendiri.
Struktur sosial Indonesia meliputi aliran pikiran dan semangat kebatinan. Struktur kerohaniannya bersifat persatuan hidup antara persatuan kawulo dan gusti. Persatuan dunia luar dan dunia batin. Persatuan mikrokosmos dan makrokosmos. Persatuan antara rakyat dengan pemimpinnya. Inilah yang disebut Soepomo sebagai ide atau konsep negara integralistik. Dalam susunan persatuan antara rakyat dan pemimpinnya itu, segala golongan diliputi semangat gotong- royong dan kekeluargaan. Inilah struktur sosial asli bangsa Indonesia. Hakekat republik Indonesia adalah Republik Desa yang besar dengan unsur dan wawasan yang modern.[3]

III. Polemik Seputar Konsep Negara Inegralistik
Konsep negara integralistik Soepomo dalam sidang BPUPKI tidak serta-merta disambut positif oleh semua peserta. Dan bukan hanya para hadirin yang hadir pada waktu itu, tetapi juga oleh para ahli dan akademisi yang hidup sesudahnya. Di bawah ini penulis akan menguraikan sedikit seputar polemik dan perbedaan pendapat yang terjadi.



B. Paham Integralistik
UUD 1945 pra-amandemen dinilai banyak pihak bertentangan dengan teori konstitusi modern. Ada gagasan yang saling bertentangan antara paham kedaulatan rakyat dan paham integralistik, antara paham negara hukum dan negara kekuasaan. Rumusan UUD 1945 terlalu sederhana dan multitafsir untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak kekosongan dalam pengaturan prinsip HAM, pembatasan jabatan presiden, kewenangan antar lembaga negara. Dahulu sering kita mendengar kritik tentang dominannya posisi Pemerintah (eksekutif) terhadap legislatif (DPR) dalam mekanisme hubungan antar kelembagaan negara berdasarkan UUD 1945. DPR tunduk pada keinginan pemerintah alias ‘stempel kekuasaan’[18].
Pemikiran Prof. Soepomo, pakar hukum adat, yang menurut banyak pihak itu mempengaruhi perumusan UUD 1945, dengan apa yang disebutnya sebagai ide negara ‘integralistik’ atau paham negara ‘kekeluargaan’. Soepomo berpandangan bahwa prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara seluruhnya, cocok dengan pikir ketimuran. Dikatakannya, hal itu tidak lain merupakan ciptaan kebudayaan Indonesia sendiri. Struktur sosial Indonesia meliputi antara aliran pikiran dan semangat kebatinan, struktur kerohanian yang bersifat dan cita-cita tentang persatuan hidup, antara persatuan kawulo dan gusti, persatuan dunia luar dan dunia batin, persatuan mikrokosmos dan makrokosmos, persatuan rakyat dan pemimpinnya. Inilah yang disebut Soepomo sebagai ide integralistik atau ide totaliter bangsa Indonesia yang akan diwujudkan dalam susunan tata negaranya yang asli[19]. Dalam susunan persatuan antara rakyat dan pemimpinnya itu segala golongan diliputi semangat gotong royong dan kekeluargaan yang disebutnya sebagai struktur sosial asli Indonesia. Hakekat Republik Indonesia merupakan ‘Republik Desa’ yang besar dengan unsur dan wawasan modern. Ia mencontohkan dasar persatuan dan kekeluargaan yang terdapat di negara Dai Nipon cocok cocok dengan corak masyarakat Indonesia[20].
Diantara pihak yang menentang gagasan Soepomo adalah Prof. DR. J.H.A. Logemann, pakar hukum tatanegara berkebangsaan Belanda. Ia mengatakan cita negara integralistik Soepomo adalah cita ‘negara organis’. Dengan gagasan negara sebagai organisasi dari suatu organis, dikatakan oleh Logemann, Soepomo (bersama lain-lainnya) telah menyambut ‘pusaka lama’ Indonesia yang terwujud dalam ‘Desa Indonesia Lama’. Logemann mempertanyakan, apakah mungkin struktur desa yang agraris dan sebagian besar autharkis dapat dipindahtanamkan ke dalam struktur negara modern?[21]. Sedangkan Marsilam menilai pemikiran Soepomo tersebut dipengaruhi oleh ide pemikiran ‘nasional-sosialis’ Jerman atau ide ‘Hegelian’[22]. Sedangkan Ismail Suny tidak dapat menerima anggapan pendiri negara kita sewaktu merumuskan dan mengesahkan UUD 1945 bertolak dari postulat paham kenegaraan integralistik.
Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan mengemukakan[23] ada lima kelemahan UUD 1945 yang menjadi penyebab ketidakberhasilan sebagai penjaga dan dasar pelaksana prinsip-prinsip demokrasi, negara hukum, dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia:
1. Struktur UUD 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada Presiden yang tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan (chief executive), tetapi juga menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang, disamping hak-hak konstitusional khusus (hak prerogratif) Presiden sebagai Kepala Negara;
2. UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances antara cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) yang akibatnya kekuasaan Presiden semakin besar dan menguat, karena tidak cukup mekanisme kendali dan pengimbang dari cabang-cabang kekuasaan yang lain;
3. UUD 1945 memuat berbagai ketentuan yang tidak jelas (vague) yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan atas konstitusi, seperti pengkaidahan dalam pasal 1 ayat (2). Pasal 7, dan Pasal 28;
4. Kedudukan Penjelasan UUD 1945 di mana tidak ada kelaziman UUD memiliki penjelasan dan materi muatan yang tidak konsisten dengan Batang Tubuh dan seharusnya ada menjadi materi muatan Batang Tubuh;
5. UUD 1945 memuat berbagai ketentuan yang masih harus diatur lebih lanjut dalam undang-undang organik tanpa disertai arahan atau pedoman tertentu, segala sesuatu diserahkan sepenuhnya kepada pembentuk undang-undang, sehingga akibatnya dapat terjadi berbagai undang-undang organik dengan objek dan sumber UUD yang sama, tetapi prinsip-prinsip pengaturan berbeda.